KETIKA MENJADI Perdana Menteri China, Zhu Rongji memesan 100 peti mati. Satu untuk dirinya. Sisanya, 99 peti mati lainnya bagi siapa saja yang melakukan tindakan korupsi. Tidak ada yang berani melakukan korupsi.
Gambaran nyata diatas barangkali ironi bagi
Sangat menyedihkan. Mungkin niat mengikuti jejak Zhu urung tercapai karena para petinggi negara
Budaya korupsi menggerogoti hampir semua elemen. Ibarat anjing buta yang kelaparan, seruduk
Lain dari anjing biasanya yang nongkrong di pinggir selokan, kawasan pasar tradisionil, atau memungut makanan sisa rumah makan. Spesies yang satu ini, sudah kelas elite. Bergaul dengan kalangan bangsawan. Dan, tongkrongannya mulai dari pemerintahan pusat hingga pemerintahan daerah. Amatlah mudah mengenyangkan perut pribadi, keluarga, serta kerabat. Korbannya semakin banyak. Semua kantong dimasuki. Spesies ini pun beranak pinak. Malah sudah terbuka kedoknya. Tanpa malu-malu lagi mereka memperkenalkan bisnis setara MLM ini. Jaringan mereka pun meluas. Laksana jala yang ditebar ke laut. Slogan mereka pun menarik, "Bersatu Kita Bisa"-bukan bermaksud mencuri slogan Partai Pak SBY. Itu artinya semakin melebar downline mereka, sistem jaringanpun semakin kuat. Gampang untuk berinvestasi. Keseriusan menggeluti bisnis busuk ini, meraih simpati banyak orang. Korban berjatuhan. Disini kemusykilan terjadi. Metode terang-terangan mereka lakukan untuk melumpuhkan banyak korban, tapi tak jelas dimana, siapa korbannya. Seberapapun besar hasil korupsi untuk koruptor berinvestasi, tidak mengindikasikan siapa korban sesungguhnya. Terang Haryatmoko berkata, "Korupsi adalah Kejahatan Tanpa Wajah".
Clean Government di saat korupsi tengah membudaya; kolusi menjadi pilihan, dan nepotisme dianggap sah-sah saja, jelas sulit. Sebuah aksioma yang kini berspora adalah yang tidak korupsi dianggap luar biasa, sementara kalau korupsi dianggap biasa. Paradigma yang unik tapi nyentrik menurutku. Pada akhirnya, akan terjadi benturan kepentingan disini.
Slogan-slogan "Pemberantasan Korupsi" yang nyaris bisa kita baca di jalan-jalan protokol, kepala naga niaga
Perangkat hukum bukannya tidak ada. Sudah banyak malah. Tap MPR Nomor XI/MPR/1998 tentang Penyelenggara Negara yang bersih dan bebas dari KKN, satu diantaranya.
Dan, kenyataan berbeda. Alur strategi ikut pepatah Sedia Payung Sebelum Hujan, niscaya berganti menjadi Sedia Payung Setelah Krisis. Krisis moral, krisis kepercayaan, krisis kepemimpinan, krisis keuangan, dan krisis-krisis lainnya terjadi. Koruptor merajalela. Meski pelik, bukan berarti telat
Konsep yang ditawarkan Gamawan selaku praktisi untuk mengatasi krisis layak kita pertimbangkan. Usaha memerangi korupsi harus selalu diteriakkan oleh semua kalangan yang peduli. Sehingga tumbuh kesan bahwa korupsi adalah perbuatan hina, memalukan, dan sangat tidak terpuji. Orang-orang kaya akan menjadi malu apabila kekayaannya dicurigai atau dia dituduh korupsi.
Selaras dengan itu, benahi sistem dan aturan yang ada untuk menutup peluang terjadinya korupsi. Kelemahan sistem kerap menjadi daya tarik terjadinya korupsi. Selain itu, perbaiki kesejahteraan aparatur pemerintah. Gaji yang tidak memadai, menimbulkan dorongan yang kuat untuk korup asal kepentingan keluarga tercukupi. Pengalaman Lee Kuan Yuu mungkin bisa menjelaskan tentang ini: ketika memulai membangun
Cara selanjutnya adalah tidak ada toleransi sedikitpun dengan pelaku sogok. Jangan pernah melemah apalagi mengalah untuk tidak menghukum berat pelaku sogok. Selain itu, barangkali perlu ada shok terapi untuk setiap kasus korupsi, dengan menghukum berat pelaku agar jera dan menyurutkan nyalinya untuk mengulangi hal yang sama.
Beberapa pemikiran yang ditawarkan bukanlah obat paling mujarab untuk memberantas korupsi. Tidak ada resep yang serta-merta mampu mengobati penyakit kronis ini. Karena itu, tidak bisa ditinggalkan, pintu agama, pendidikan, adat dan nilai lokal merupakan terapi yang diperlukan juga.